Relasi Agama dan Politik di Indonesia

The Relationship between Religion and Politics in Indonesia

  • Adang Sonjaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia
  • Budi Rahayu Diningrat Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Keywords: politics; religious relations; Indonesia

Abstract

Islamic politics faced challenges in influencing the future of Indonesia during the post-independence era. Modernist Islamic groups struggled to counter the growing influence of the guided democratic authoritarianism regime. As a result, the Islamic political party Masyumi was disbanded, and its leader, Mohammad Natsir, faced derogatory nicknames such as "ringworm cat" from the authorities. The Nahdlatul Ulama (NU), which sought to compromise with power, had a limited role on the national political stage. This study employs a qualitative method with a literature review approach. The findings indicate that the relationship between religion and power varies across different religions in terms of practice and doctrine. Nonetheless, it is evident that religion and state power are deeply interconnected, with "religion becoming the core of power and power becoming the core of religion." It is crucial to examine this perspective within the context of our respective religious communities.

Politik Islam mengalami kemandulannya, setelah gagal di pentas Nasional dalam menentukan Indonesia masa depan pada pasca-kemerdekaan. Saat itu kelompok Islam modernis tidak mampu membendung kecenderungan rezim otoritarianisme demokrasi terpimpin. Bahkan partai politik Islam Masyumi harus bubar sebagai jawaban kekalahan politik itu dan Mohammad Natsir, ujung tombak kekuatan kelompok ini harus rela dijuluki “kucing kurap” oleh penguasa saat itu. Sementara NU yang berusaha melakukan kompromi dengan kekuasaan, pada akhirnya tidak memiliki peran yang signifikan dalam pentas politik Nasional. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan agama dan kekuasaan berbeda dari satu agama ke agama yang lain dalam praktik maupun dalam doktrinnya. Namun pengalaman menunjukkan bahwa agama dan kekuasaan negara sulit dilepaskan. “Agama menjadi inti kekuasaan dan kekuasaan menjadi inti agama”. Pandangan ini perlu kita periksa dalam realitas komunitas agama masing-masing.

Downloads

Download data is not yet available.

References

Ali, Fachry dan Bachtiar Effendi. (1987). Merambah Jalan Baru Islam : Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.

Anwar, Dewi Fortuna. (1983). “Pertarungan Ka’bah dan Garuda”, Prisma.

Dhakidae, Daniel. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.

Durkheim, Émile. (1915). The Elementary Forms of the Religious Life. London: George Allen & Unwin.

Harian Rakyat Merdeka, 28 September 2002

Kholid O. Santosa. (2009). Praktek Demokrasi Langsung di Indonesia, Bandung: Sega Arsy.

Lembaga Studi dan Advokasi Kerukunan Umat Beragama ( LSKAU )

Monier-Williams. (1899). pada entri āgama: ...a traditional doctrine or precept, collection of such doctrines, sacred work [...]; anything handed down and fixed by tradition (as the reading of a text or a record, title deed, &c.)

Sumantho Al-Qurthubi. (2002). Era Baru fiqih Indonesia. Penerbit Cermin.

Wiliam Budiarjo. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Published
2023-03-30
How to Cite
Sonjaya, A., & Rahayu Diningrat, B. (2023). Relasi Agama dan Politik di Indonesia. JCIC : Jurnal CIC Lembaga Riset Dan Konsultan Sosial, 5(1), 21-28. https://doi.org/10.51486/jbo.v5i1.82